Seperti biasa saya duduk diam
ditempat paling belakang dalam mobil EPV milik paman saya, ketika itu kami
berada ditengah perjalanan pulang dari mojokerto menuju bangil sehabis menguburkan
almarhum kakek saya, itu tepatnya 8 hari sehabis berkumpul halal bihalal idul
fitri dijawa timur. Diantara setengah tidur saya mendengar percakapan antara
ayah saya dan paman-paman saya, “kalau
is#m gak mau diundang, tapi kalau ana ya mau aja, gak enak sama tetangga” ujar
ayah saya. paman saya membalas “gak bisa gitu dong bang yahya, itukan bi’dah,
sesuatu yang gak pernah diajarkan rosulullah”. Ayah saya “ya gak papalah, tapi
rosullulloh juga gak pernah melarangkan”
memang saya pikir ayah saya merupakan yang paling moderat diantara semua
saudara-saudaranya, kalau tidak salah inilah yang membuat saya cukup beruntung
sehingga pikiran saya tetap terbuka
terhadap paham-paham baru. kemudian paman saya sedikit bernada keras, menyelak
“segala sesuatu yang berhubungan dengan ibadah itu harus didasarkan oleh hadist
kalau mau amalnya diterima, diluar itu bidah menjurus pada kesesatan” sayapun benar-benar terbangun.
Kami semua adalah keturunan Arab indonesia yang didominasi oleh aliran
muhammadiah (aliran yang mengaku adalah aliran yang menjalankan aturan-aturan
nabi Muhammad tanpa penambahan) sedang membicarakan kebiasaan tajiah atau
pengajian (biasanya yasinan) tiap minggu yang dilakukan oleh mayoritas
masyarakat kita yang notabennya beraliran NU (nahdatul ulama, yaitu aliran yang
mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem
naqli (skripturalis), karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Quran
dan sunnah, tetapi juga kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik).
https://www.tokopedia.com/sciencephi/etalase/zzz |
jangan bilang-bilang yaa..... |
Benarkah demikian,
seberapa jauh kita mengetahui suatu itu tradisi atau hukum agama, sekarang kita
akan melihat disini bahwa banyak suatu aturan yang kita sangka adalah hukum
agama bila diselidiki lebih lanjut ternyata hanyalah sebuah tradisi. Topik kali
ini saya akan ambil kontrofersi berjilbab sebagai perwakilan karena banyak
diantara ulama dan aliran di Indonesia menganggap berjilbab adalah sebuah
kewajiban terutama akhir-akhir ini dimana kebiasaan berjilbab sudah menjadi
tren, Tapi disini kita tidak akan melulu membicarakan soal sariat berjilbab,
tapi disini kita akan lebih mengutamakan pembahasan sejarah pemakaian berjilbab
dari segi sains atau dari segi historisnya. Saya yakin, ini akan membuat anda
tercengang lagi dan seperti biasanya bila ada sebuah paham yang benar-benar
kita yakini sebagai kebenaran ternyata terbantahkan, kita akan berkata “gak…… munnnngkin ah!!!”
Apa
kata Islam???!!!
Kita akan membahas 2
ayat yang menyinggung permasalahan berjilbab dianataranya al-Quran surat al-Ahzab: 59 dan an-Nur: 31. Dalam surat
al-Ahzab berbunyi sebagai berikut:
ياء يوهن نبي قل إلا ز وا جك و بنا تك و نساء المو منين يد نين عليهن من
جلابهنة د لك أد نا أن يعرفنا فلا يو دين و كا ن الله غفو را ر حيما
Yang biasa diartikan : “Hai nabi
katakanlah pada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang
mumin, ‘hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.‘ yang
demikian itu supaya mereka mudah dikenal, sehingga mereka tidak diganggu. Dan
Allah maha pengampun lagi maha penyayang.”
Niqab menutupi seluruh tubuh kecuali mata |
Yang perlu diketahui
adalah kata-kata dalam al-Quran dapat mengalami perubahan seiring berjalanya
waktu, hal ini wajar saja, karena al-Quran diturunkan ribuan tahun yang lalu
sehingga dalam perjalanannya pasti mengalami perubahan makna. Bagaimanapun juga
ketika al-Quran masuk ke dalam pemahaman manusia ayat-ayatnya mengalami
subjektifitas, sehingga diperlukan penafsiran, tak jarang ayat-ayat ini
ditafsirkan menurut tradisi, seperti yang akan kita lihat nanti. Karena itu
menurut saya menafsirkan al-Quran dengan sains perlu lebih diutamakan dan
dibiasakan karena hal ini jauh lebih objektif, heheheheheee…. Jangan nuduh saya
liberal ya…. Karena toh kalau anda mau terus membaca topik ini kita akan
mengurainya bersama menggunakan metode yang bisa dibuktikan oleh semua
kalangan, inilah sifat metode ilmiah.
https://www.tokopedia.com/sciencephi/etalase/zzz |
Kata jilbab (جلبب) misalnya diperselisihkan maknanya oleh para ulama (ulama lo.. bukan saya), kata jilbab di Indonesia memang diartikan sebagai pakaian yang menutupi kepala sampai leher dan dada tapi kata jilbab dalam al-Quran dapat berarti lain, Menurut kitab al-Munjid jilban diartikan baju atau pakian yang lebar. Dalam kitab al-Mufrada karya Raghib Isfahani disebut bahwa jilbab adalah baju dan kerudung. Kitab al-Qamus mengartikan jilbab sebagai pakaian luar yang lebar sekaligus kerudungnya, yang biasa dipakai kaum wanita untuk menutupi pakaian dalam mereka1.
Kalau yang dimaksud
dengannya adalah baju, maka ia menutupi tangan dan kaki, kalau kerudung, maka
perintah mengulurkannya adalah menutup wajah dan leher. Kalau maknanya pakaian
yang menutupi baju maka perintah mengulurkannya adalah membuatnya longgar
sehingga menutupi semua badan dan pakaian. Ibn Asyur menambahkan bahwa model
jilbab dapat bermacam-macam sesuai perbedaan keadaan (selera) wanita dan yang
diarahkan adat kebiasaan. Tetapi tujuan yang dikehendaki ayat ini adala “……menjadikan
mereka lebih mudah dikenal sehingga mereka tidak diganggu”2.
Kemudian surat
selanjutnya an-Nur ayat 31 berbunyi
و قل للمو منات يغدودنة من ا بصري ....... و ليدري هن على جيو بهن.........
Yang biasa diartikan: “katakanlah
kepada wanita-wanita mukminah ‘hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan
memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan hiasan mereka kecuali
yang (biasa) Nampak darinya dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung
mereka ke dada mereka, dan janganlah menampakan, perhiasan mereka, kecuali pada
suami mereka, atau ayah mereka,………” (selanjutnya baca diri aja ya gak penting
OOT (out of topik))”.
Kata khumur (خمور) adalah
bentuk jamak dari kata (خيمر)khimar yaitu tutup kepala, yang panjang. Konon katanya
sejak dahulu wanita menggunakan tutup kepala itu, hanya saja sebagian mereka
tidak mengguanakannya untuk menutup tapi membiarkanya melilit punggung mereka.
Nah ayat ini memerintahkan mereka menutupi dada mereka dengan kerudung panjang
itu. Ini berarti kerudung itu diletakkan dikepala mereka karena memang sejak
semula ia berfungsi demikian, lalu diulurkan ke bawah sehingga menutup dada2.
Nah sampai disini
dulu ya masalah sariatnya, kita akan berusaha sebisa mungkin menyatukan masalah
ini dengan sains, atau kita akan melihat perbedaan-perbedaan diantara keduanya,
sehingga anda bisa menentukannya mana yang mendekati kebenaran atau setidaknya
condong dengan pendapat anda, memang menurut saya memberikan kebebasan untuk
memilih apa yang dianggap orang lain benar, lebih baik dari kebenaran itu
sendiri. Disinilah saya berusaha untuk mendewasakan para pembaca agar tidak
terlalu rapuh pada perbedaan. So gak usah banyak omong lagi, we go to science
now.
Apa
Kata Sains???!!!!
Coba pikirkan pernahkah anda melihat para suster Kristen
atau biarawati memakai jilbab, biasanya
mereka memakai jilbab putih atau biru muda atau bahkan hitam. Dari sana
pernahkah terbesit dalam pikiran anda
bagaimana kebiasaan berjilab bisa ada pada kedua agama ini, ‘ya merekakan
sama-sama agama samawi’. Yap dugaan yang menarik, tapi tahukah anda sebenarnya
bangsa yang pertama menggunakan jilbab bukanlah dari kalangan samawi tetapi
beberapa millenium sebelumnya, beberapa ribu tahun sebelum nabi kita lahir. Assyria
merupakan peradaban disemenanjung sungai eufrat dan tigris yang biasa disebut
mesopotamia, peradaban ini berdiri sekitar 2000 SM. Berdasarkan sumber utama
hukum Assyria terdapat bukti bagaimana hukum assyriah mengungkapkan hubungan antara berjilbab dan
stratifikasi sosial. Hukum 40 dari dokumen yang berusia 1300SM, menurut Driver
dan Miles (1935: 407) menyatakan sebagai berikut: “wanita baik yang menikah
atau janda atau orang assyriah yang keluar kejalan tidak boleh membiarkan
kepala mereka tanpa penutup. Wanita bangsawan… apakah jilbab? Atau jubah atau
mantel, harus berjilbab, mereka tidak boleh membiarkan kepala mereka tanpa
penutup. Apakah…..tidak harus berjilbab, tapi ketika mereka pergi kejalanana
umum sendirian, mereka harus benar-benar berjilbab”. Dalam konteks ini jilbab
di Assyriah menjadi tanda eksklusifitas, status keistimewaan dan prifasi3.
Burqah yang biasa dipakai di Afganistan |
Selain Assyriah kita
mengenal kebudayaan helen yunani yang memperkenalkan jilbab, tetapi yang penting untuk dibahas disini
adalah budaya berjilbab masyarakat Bizantium, karena memiliki kontak historis
dengan persia wilayah yang saat ini disebut timur tengah dan karena masyarakat Bizantium
memiliki iklim ideologis yang dalam beberapa hal mirip dengan masyarakat muslim
yaitu merepresentasikan suatu perkembangan yang signifikan dalam pemikiran dan
pratek-praktek kristen (samawi). Brown (1988) mengadakan penelitian yang khusus
mengkaji berbagai praktik pengorbanan seksual secara permanen-berpantang akan
sesuatu , membujang perawan sepanjang hidup, yang berkembang diantara laki-laki
dan perempuan dalam masyarakat kristen beberapa waktu menjelang perjalanan
misionaris Santo Paul, yaitu tahun 40-an dan 50-an masehi. Sampai beberapa saat
setelah meninggalnya Santo Agustine. Brown menyebutkan bahwa Clement dari
Alexandria, seorang penulis kristen pada akhir abad kedua masehi, menyampaikan
konsep pra kristen dan kristen tentang diri manusia dengan mengatakan bahwa;
idealisme manusia tentang pengendalian diri sebagaimana ditegaskan oleh para
filsuf, mengajarkan manusia untuk menahan nafsu, dan jangan sampai tunduk
padanya. Akan tetapi dalam hal ini, orang-orang kristen telah berfikir lebih
jauh lagi, dalam hal-hal yang ideal mereka melarang untuk bersentuhan dengan
hawa nafsu samasekali3.
nyiksa beneeer mba |
Bukti-bukti ini dapat
dilihat dalam bibel yaitu pada kitab kejadian: 24.65 “dan rebeka mengangkat
pandangannya ke atas dan ketika melihat isac…. Ia mengambil jilbabnya untuk
menutupi wajahnya sendiri”. Sebagai
bukti yang lain bahwa kebiasaan berjilbab masih ada hingga abad-abad
selanjutnya adalah tulisan-tulisan ideolog kristen awal, khususnya Micheal
Psellos (seorang pengarang dan figur politik Bizantium abad ke 11), misalnya
tentang seorang ibu dalam upacara penguburan anaknya, dia dapat mengangkat
jilbabanya untuk pertama kali dalam hidupnya ditengah kehadiran laki-laki. Dan
juga kisah seorang bangsawan abad ke-10, yang tetap mempertahankan kebiasaan
putrinya ketika sedang mandi, dengan menerangkan bahwa putrinya itu pergi
keluar “berjilbab dan dikawal”3. Hal ini menunjukkan bahwa
berpakaian jilbab yang menutup kepala adalah suatu hal yang umum dikalangan
masyarakat ketika itu.
Kita sekarang menuju
ke masyarakat Arab jaman nabi muhammad,
dengan melihat surat-surat bersejarah yang diciptakan ketika seorang utusan
raja datang ke masyarakat nabi, dapat diketahui
wanita-wanita arab tidak menggunakan jilbab4, dan hanya para
pelancong/pendatang saja yang biasanya menggunakan jilbab. penelitian senada
dilakukan oleh stren(1939a:108), Hansen
(1967: 71) dan Ahmed (1992) mereka mendapatkan kesimpulan bahwa nabi Muhammad
tidak memperkenalkan jilbab (dalam arti penutup kepala) dan jilbab merupakan
fenomena asing dalam masyarakat arab ketika itu3. Pemakain jilbab
baru mebudaya setelah 200 tahun dari tahun awal hijriah, dan bila diselidiki
lebih lanjut jalur yang memungkinkan masuknya budaya berjilbab dikalangan Arab
adalah melalui pendatang – pendatang dari kalangan masyarakat Bizantuim dan Persia.
Jadi kita dapat mengambil kesimpulan dari segi historisnya jilbab hanyalah
sebuah tradisi bukan hukum agama.
Nah sekarang
bagaimana dengan ayat-ayat dalam al-Quran dan Hadist, beberapa ulama
berpendapat bahwa setelah keluarnya surat an-Nur kaum muslimah segera mengganti
pakaian mereka agar sesuai dengan aturan yang islami, mereka berfikir bahwa
sebelum surat ini keluar kebanyakan muslimin hanya memakai penutup kepala untuk
menutupi rambut mereka, kemudian dengan turunya ayat tersebut, kaum muslimah
diharuskan menutup kain kepala tersebut hingga ke dada. Masalahnya para ulama
tersebut tidak memiliki dasar acuan tentang pendapat mereka. Laki-laki dan
perempuan dalam gerakan Islam membaca karya-karya tulis ideolog Sayyib Qutb dan
Abu al-A’la al-Mawdudi maupun
karya-karya lainnya. Mereka menyerukan tentang pakaian dan kode tingkah laku
yang Islami, yang berdasarkan dua surat dalam al-Quran an-Nur dan al-Ahzab maupun
hadist-hadist. Istilah-istilah pakaian dalam al-Quran dan hadist, misalnya
khimar dan jilbab dan konsep tabarruj, serta perlawanan kata tahajjub/sufur.
Semuanaya tampak kembali sebagai kosakata kontemporer yang dibangkitkan kembali
pada pendominasian percakapan sehari-hari dikalangan pemuda dalam pergerakan
dan ditingkat yang lebih luas lagi dalam negara itu. Yang secara akal
tafsir-tafsir ini ditulis jauh hari setelah datangnya Islam, setelah kebiasaan
berjilbab mapan dalam kebiasaan muslim.
Sedangkan beberapa
ulama yang lain berpendapat bahwa bila dilihat dari ayat-ayat sebelum dan
sesudahnya (QS 33: 32-33 dan QS 33:53), maka maksud ayat-ayat diatas adalah
mewajibkan istri-istri nabi untuk menggunakan jilbab6. Hal ini memang tidak terlalu bertentangan dengan
sains karena memang sebelum dan sesudah datangnya islam diketahui bahwa
beberapa wanita yang jumlahnya kecil memakai tutup kepala. Ini dapat dilihat
dari pantun atau puisi yang diciptakan pada masa jahiliah sebelum islam datang
‘jika kalian tidak menutut balas dengan saudara kalian, maka tinggalkanlah
senjata dan lemparkan ditanah gersang, ambilah celak dan kain celupandan
pakailah kerudung, seburuk-buruknya kaum adalah yang dikalahkan’, dan puisi
yang lainnya ‘umamah berkeliling naik kendaraan, alangkah baik tubuh dan
kerudungnya’4. Beberapa referensi yang tercecer yang menunjukkan
bahwa wanita-wanita yang memiliki status sosial tinggi, seperti wanita Hind
dari Hirah (Sterna: 109), yang sengaja berjilbab diruang publik. Denga demikian
pemakaian berjilbab sesudah dan sebelum datangnya islam hanya terbatas pada
sedikit wanita dari status sosial tertentu saja3.
Para ulama kebanyakan
mengkritik saintis yang hanya melihat cara berpakian dari segi sejarahnya saja
tidak melihat dari sisi syariatnya. Tapi saya justru melihat sebaliknya, para
saintis dalam ilmu antropologi melihat faktor sejarah dari berbagai macam
aspek, seperti asal kata, makna kata, munculnya kebiasaan dan jalur datangnya
kebiasaan dari sumber-sumber sejarah baik hadist, al-Quran, puisi-puisi, dan
hukum yang dapat dijadikan sumber rujukan. Berbeda dengan para ulama yang
kelihatanya ilmu mereka hanya terkait pada masalah syariat yang diwariskan
secara turun temurun sehingga cenderung menilai dengan subjektif.
setiap manusia dikendalikan oleh memenya |
Ok sekarang kita mendapatkan
kesimpulan bahwa pemakian berjilbab hanyalah sebuah tradisi bukan hukum agama,
jelas saya tidak menyuruh anda melepas jilbab anda, apalagi mengatas namakan
tuhan agar anda melakukannya, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan
ulama-ulama kita, bila mereka mendapatkan ide tentang apa yang mereka anggap
hukum agama. Tetapi saya lebih berharap agar kita lebih bijaksana dalam
menilai, tidak perlulah kita beranggapan bahwa seseorang yang memiliki paham
yang berbeda dengan kita sudah pasti salah dihadapan tuhan. Dengan ilmu kita
yang terbatas ini, kita hanya dapat melapangkan dada terhadap perbedaan,
perbedaan adalah mutlak ada dan seharusnya kita menyikapinya sebagai karunia
tuhan. Bila kita menganggap segala sesuatu yang bertentangan dengan paham kita adalah
bid’ah maka kita justru terjerembab dalam kebencian dan sikap tidak toleransi,
seperti yang anda lihat pada cerita pembuka diatas. Jika kita menganggap bahwa
kebenaran adalah sesuatu yang pasti berpihak pada kita maka kita akan menjadi
budak mahluk yang disebut virus akal budi (meme) yang bertujuan hanya untuk
memperbanyak diri mereka sendiri, kemudian menjauhkan kita dari sikap
rendah hati. Karena kebenaran itu absurb, kita harus puas hanya pada tempat
kedua dari puncak kebenaran, sehingga kita tidak pernah puas untuk terus
mencarinya.
Referensi :
1.
Husein
Shahab. Jilbab menurut al-Quran dan Sunnah. Mizan. Bandung. 1995.
2.
Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah pesan, kesan, dan
keserasian al-Quran. Lentera Hati.Tangerang. 2007.
3. Fadwa El Guindi. Jilbab Antara, Keshalehan, Kesopanan, dan
Perlawanan. Serambi Ilmu Semesta. Jakarta. 2003. Bisa dilihat e-book googlenya
disini : http://books.google.com/books?id=0I1HuLFYHNkC&printsec=frontcover&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false.
4.
Di chenel SBS ketika itu dalam program tayangan Insight, disana
mereka menampilkan berbagai kalangan mulai dari wanita muslim tak berjilbab sampai
wanita muslim yang menutupi semua wajahnya dengan jilbab, ahli sejarah dan ahli
agama dari semua aliran.
5. Prof. Abu Syuqqah. Busana dan perhiasan Wanita menurut al-Quran
dan Hadist. Al Bayan. Kuwait. 1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar