Rabu, 07 Februari 2018

kontrofersi berjilbab






Seperti biasa saya duduk diam ditempat paling belakang dalam mobil EPV milik paman saya, ketika itu kami berada ditengah perjalanan pulang dari mojokerto menuju bangil sehabis menguburkan almarhum kakek saya, itu tepatnya 8 hari sehabis berkumpul halal bihalal idul fitri dijawa timur. Diantara setengah tidur saya mendengar percakapan antara ayah saya dan paman-paman saya,  “kalau is#m gak mau diundang, tapi kalau ana ya mau aja, gak enak sama tetangga” ujar ayah saya. paman saya membalas “gak bisa gitu dong bang yahya, itukan bi’dah, sesuatu yang gak pernah diajarkan rosulullah”. Ayah saya “ya gak papalah, tapi rosullulloh juga gak pernah melarangkan”  memang saya pikir ayah saya merupakan yang paling moderat diantara semua saudara-saudaranya, kalau tidak salah inilah yang membuat saya cukup beruntung sehingga pikiran  saya tetap terbuka terhadap paham-paham baru. kemudian paman saya sedikit bernada keras, menyelak “segala sesuatu yang berhubungan dengan ibadah itu harus didasarkan oleh hadist kalau mau amalnya diterima, diluar itu bidah menjurus  pada kesesatan” sayapun benar-benar terbangun. Kami semua adalah keturunan Arab indonesia yang didominasi oleh aliran muhammadiah (aliran yang mengaku adalah aliran yang menjalankan aturan-aturan nabi Muhammad tanpa penambahan) sedang membicarakan kebiasaan tajiah atau pengajian (biasanya yasinan) tiap minggu yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat kita yang notabennya beraliran NU (nahdatul ulama, yaitu aliran yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis), karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Quran dan sunnah, tetapi juga kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik). 

 
https://www.tokopedia.com/sciencephi/etalase/zzz

 
jangan bilang-bilang yaa.....
Benarkah demikian, seberapa jauh kita mengetahui suatu itu tradisi atau hukum agama, sekarang kita akan melihat disini bahwa banyak suatu aturan yang kita sangka adalah hukum agama bila diselidiki lebih lanjut ternyata hanyalah sebuah tradisi. Topik kali ini saya akan ambil kontrofersi berjilbab sebagai perwakilan karena banyak diantara ulama dan aliran di Indonesia menganggap berjilbab adalah sebuah kewajiban terutama akhir-akhir ini dimana kebiasaan berjilbab sudah menjadi tren, Tapi disini kita tidak akan melulu membicarakan soal sariat berjilbab, tapi disini kita akan lebih mengutamakan pembahasan sejarah pemakaian berjilbab dari segi sains atau dari segi historisnya. Saya yakin, ini akan membuat anda tercengang lagi dan seperti biasanya bila ada sebuah paham yang benar-benar kita yakini sebagai kebenaran ternyata terbantahkan, kita akan  berkata “gak…… munnnngkin ah!!!”

Apa kata Islam???!!!

Kita akan membahas 2 ayat yang menyinggung permasalahan berjilbab dianataranya al-Quran surat   al-Ahzab: 59 dan an-Nur: 31. Dalam surat al-Ahzab berbunyi sebagai berikut:

ياء يوهن نبي قل إلا ز وا جك و بنا تك و نساء المو منين يد نين عليهن من جلابهنة   د لك أد نا أن يعرفنا فلا يو دين  و كا ن الله غفو را ر حيما

Yang biasa diartikan : “Hai nabi katakanlah pada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mumin, ‘hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.‘ yang demikian itu supaya mereka mudah dikenal, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah maha pengampun lagi maha penyayang.”

Niqab menutupi seluruh tubuh kecuali mata
Yang perlu diketahui adalah kata-kata dalam al-Quran dapat mengalami perubahan seiring berjalanya waktu, hal ini wajar saja, karena al-Quran diturunkan ribuan tahun yang lalu sehingga dalam perjalanannya pasti mengalami perubahan makna. Bagaimanapun juga ketika al-Quran masuk ke dalam pemahaman manusia ayat-ayatnya mengalami subjektifitas, sehingga diperlukan penafsiran, tak jarang ayat-ayat ini ditafsirkan menurut tradisi, seperti yang akan kita lihat nanti. Karena itu menurut saya menafsirkan al-Quran dengan sains perlu lebih diutamakan dan dibiasakan karena hal ini jauh lebih objektif, heheheheheee…. Jangan nuduh saya liberal ya…. Karena toh kalau anda mau terus membaca topik ini kita akan mengurainya bersama menggunakan metode yang bisa dibuktikan oleh semua kalangan, inilah sifat metode ilmiah. 


 
https://www.tokopedia.com/sciencephi/etalase/zzz



Kata jilbab (جلبب) misalnya diperselisihkan maknanya oleh para ulama (ulama lo.. bukan saya), kata jilbab di Indonesia memang diartikan sebagai pakaian yang menutupi kepala sampai leher dan dada tapi kata jilbab dalam al-Quran dapat berarti lain, Menurut kitab al-Munjid jilban diartikan baju atau pakian yang lebar. Dalam kitab al-Mufrada karya Raghib Isfahani disebut bahwa jilbab adalah baju dan kerudung. Kitab al-Qamus mengartikan jilbab sebagai pakaian luar yang lebar sekaligus kerudungnya, yang biasa dipakai kaum wanita untuk menutupi pakaian dalam mereka1

Kalau yang dimaksud dengannya adalah baju, maka ia menutupi tangan dan kaki, kalau kerudung, maka perintah mengulurkannya adalah menutup wajah dan leher. Kalau maknanya pakaian yang menutupi baju maka perintah mengulurkannya adalah membuatnya longgar sehingga menutupi semua badan dan pakaian. Ibn Asyur menambahkan bahwa model jilbab dapat bermacam-macam sesuai perbedaan keadaan (selera) wanita dan yang diarahkan adat kebiasaan. Tetapi tujuan yang dikehendaki ayat ini adala “……menjadikan mereka lebih mudah dikenal sehingga mereka tidak diganggu”2.

Kemudian surat selanjutnya an-Nur ayat 31 berbunyi

و قل للمو منات يغدودنة من ا بصري ....... و ليدري هن على جيو بهن.........


Yang biasa diartikan: “katakanlah kepada wanita-wanita mukminah ‘hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan hiasan mereka kecuali yang (biasa) Nampak darinya dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung mereka ke dada mereka, dan janganlah menampakan, perhiasan mereka, kecuali pada suami mereka, atau ayah mereka,………” (selanjutnya baca diri aja ya gak penting OOT (out of topik))”.

Kata khumur (خمور) adalah bentuk jamak dari kata (خيمر)khimar yaitu tutup kepala, yang panjang. Konon katanya sejak dahulu wanita menggunakan tutup kepala itu, hanya saja sebagian mereka tidak mengguanakannya untuk menutup tapi membiarkanya melilit punggung mereka. Nah ayat ini memerintahkan mereka menutupi dada mereka dengan kerudung panjang itu. Ini berarti kerudung itu diletakkan dikepala mereka karena memang sejak semula ia berfungsi demikian, lalu diulurkan ke bawah sehingga menutup dada2.

Nah sampai disini dulu ya masalah sariatnya, kita akan berusaha sebisa mungkin menyatukan masalah ini dengan sains, atau kita akan melihat perbedaan-perbedaan diantara keduanya, sehingga anda bisa menentukannya mana yang mendekati kebenaran atau setidaknya condong dengan pendapat anda, memang menurut saya memberikan kebebasan untuk memilih apa yang dianggap orang lain benar, lebih baik dari kebenaran itu sendiri. Disinilah saya berusaha untuk mendewasakan para pembaca agar tidak terlalu rapuh pada perbedaan. So gak usah banyak omong lagi, we go to science now.

Apa Kata Sains???!!!!

Coba pikirkan  pernahkah anda melihat para suster Kristen atau biarawati memakai jilbab,  biasanya mereka memakai jilbab putih atau biru muda atau bahkan hitam. Dari sana pernahkah  terbesit dalam pikiran anda bagaimana kebiasaan berjilab bisa ada pada kedua agama ini, ‘ya merekakan sama-sama agama samawi’. Yap dugaan yang menarik, tapi tahukah anda sebenarnya bangsa yang pertama menggunakan jilbab bukanlah dari kalangan samawi tetapi beberapa millenium sebelumnya, beberapa ribu tahun sebelum nabi kita lahir. Assyria merupakan peradaban disemenanjung sungai eufrat dan tigris yang biasa disebut mesopotamia, peradaban ini berdiri sekitar 2000 SM. Berdasarkan sumber utama hukum Assyria terdapat bukti bagaimana hukum assyriah  mengungkapkan hubungan antara berjilbab dan stratifikasi sosial. Hukum 40 dari dokumen yang berusia 1300SM, menurut Driver dan Miles (1935: 407) menyatakan sebagai berikut: “wanita baik yang menikah atau janda atau orang assyriah yang keluar kejalan tidak boleh membiarkan kepala mereka tanpa penutup. Wanita bangsawan… apakah jilbab? Atau jubah atau mantel, harus berjilbab, mereka tidak boleh membiarkan kepala mereka tanpa penutup. Apakah…..tidak harus berjilbab, tapi ketika mereka pergi kejalanana umum sendirian, mereka harus benar-benar berjilbab”. Dalam konteks ini jilbab di Assyriah menjadi tanda eksklusifitas, status keistimewaan dan prifasi3

Burqah  yang biasa dipakai di Afganistan
Selain Assyriah kita mengenal kebudayaan helen yunani yang memperkenalkan jilbab,  tetapi yang penting untuk dibahas disini adalah budaya berjilbab masyarakat Bizantium, karena memiliki kontak historis dengan persia wilayah yang saat ini disebut timur tengah dan karena masyarakat Bizantium memiliki iklim ideologis yang dalam beberapa hal mirip dengan masyarakat muslim yaitu merepresentasikan suatu perkembangan yang signifikan dalam pemikiran dan pratek-praktek kristen (samawi). Brown (1988) mengadakan penelitian yang khusus mengkaji berbagai praktik pengorbanan seksual secara permanen-berpantang akan sesuatu , membujang perawan sepanjang hidup, yang berkembang diantara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat kristen beberapa waktu menjelang perjalanan misionaris Santo Paul, yaitu tahun 40-an dan 50-an masehi. Sampai beberapa saat setelah meninggalnya Santo Agustine. Brown menyebutkan bahwa Clement dari Alexandria, seorang penulis kristen pada akhir abad kedua masehi, menyampaikan konsep pra kristen dan kristen tentang diri manusia dengan mengatakan bahwa; idealisme manusia tentang pengendalian diri sebagaimana ditegaskan oleh para filsuf, mengajarkan manusia untuk menahan nafsu, dan jangan sampai tunduk padanya. Akan tetapi dalam hal ini, orang-orang kristen telah berfikir lebih jauh lagi, dalam hal-hal yang ideal mereka melarang untuk bersentuhan dengan hawa nafsu samasekali3

nyiksa beneeer mba
Bukti-bukti ini dapat dilihat dalam bibel yaitu pada kitab kejadian: 24.65 “dan rebeka mengangkat pandangannya ke atas dan ketika melihat isac…. Ia mengambil jilbabnya untuk menutupi wajahnya sendiri”.  Sebagai bukti yang lain bahwa kebiasaan berjilbab masih ada hingga abad-abad selanjutnya adalah tulisan-tulisan ideolog kristen awal, khususnya Micheal Psellos (seorang pengarang dan figur politik Bizantium abad ke 11), misalnya tentang seorang ibu dalam upacara penguburan anaknya, dia dapat mengangkat jilbabanya untuk pertama kali dalam hidupnya ditengah kehadiran laki-laki. Dan juga kisah seorang bangsawan abad ke-10, yang tetap mempertahankan kebiasaan putrinya ketika sedang mandi, dengan menerangkan bahwa putrinya itu pergi keluar “berjilbab dan dikawal”3. Hal ini menunjukkan bahwa berpakaian jilbab yang menutup kepala adalah suatu hal yang umum dikalangan masyarakat ketika itu. 

Kita sekarang menuju ke masyarakat Arab jaman nabi  muhammad, dengan melihat surat-surat bersejarah yang diciptakan ketika seorang utusan raja datang ke masyarakat nabi, dapat diketahui  wanita-wanita arab tidak menggunakan jilbab4, dan hanya para pelancong/pendatang saja yang biasanya menggunakan jilbab. penelitian senada dilakukan oleh  stren(1939a:108), Hansen (1967: 71) dan Ahmed (1992) mereka mendapatkan kesimpulan bahwa nabi Muhammad tidak memperkenalkan jilbab (dalam arti penutup kepala) dan jilbab merupakan fenomena asing dalam masyarakat arab ketika itu3. Pemakain jilbab baru mebudaya setelah 200 tahun dari tahun awal hijriah, dan bila diselidiki lebih lanjut jalur yang memungkinkan masuknya budaya berjilbab dikalangan Arab adalah melalui pendatang – pendatang dari kalangan masyarakat Bizantuim dan Persia. Jadi kita dapat mengambil kesimpulan dari segi historisnya jilbab hanyalah sebuah tradisi bukan hukum agama.

Nah sekarang bagaimana dengan ayat-ayat dalam al-Quran dan Hadist, beberapa ulama berpendapat bahwa setelah keluarnya surat an-Nur kaum muslimah segera mengganti pakaian mereka agar sesuai dengan aturan yang islami, mereka berfikir bahwa sebelum surat ini keluar kebanyakan muslimin hanya memakai penutup kepala untuk menutupi rambut mereka, kemudian dengan turunya ayat tersebut, kaum muslimah diharuskan menutup kain kepala tersebut hingga ke dada. Masalahnya para ulama tersebut tidak memiliki dasar acuan tentang pendapat mereka. Laki-laki dan perempuan dalam gerakan Islam membaca karya-karya tulis ideolog Sayyib Qutb dan Abu al-A’la  al-Mawdudi maupun karya-karya lainnya. Mereka menyerukan tentang pakaian dan kode tingkah laku yang Islami, yang berdasarkan dua surat dalam al-Quran an-Nur dan al-Ahzab maupun hadist-hadist. Istilah-istilah pakaian dalam al-Quran dan hadist, misalnya khimar dan jilbab dan konsep tabarruj, serta perlawanan kata tahajjub/sufur. Semuanaya tampak kembali sebagai kosakata kontemporer yang dibangkitkan kembali pada pendominasian percakapan sehari-hari dikalangan pemuda dalam pergerakan dan ditingkat yang lebih luas lagi dalam negara itu. Yang secara akal tafsir-tafsir ini ditulis jauh hari setelah datangnya Islam, setelah kebiasaan berjilbab mapan dalam kebiasaan muslim.

Sedangkan beberapa ulama yang lain berpendapat bahwa bila dilihat dari ayat-ayat sebelum dan sesudahnya (QS 33: 32-33 dan QS 33:53), maka maksud ayat-ayat diatas adalah mewajibkan istri-istri nabi untuk menggunakan jilbab6. Hal ini memang tidak terlalu bertentangan dengan sains karena memang sebelum dan sesudah datangnya islam diketahui bahwa beberapa wanita yang jumlahnya kecil memakai tutup kepala. Ini dapat dilihat dari pantun atau puisi yang diciptakan pada masa jahiliah sebelum islam datang ‘jika kalian tidak menutut balas dengan saudara kalian, maka tinggalkanlah senjata dan lemparkan ditanah gersang, ambilah celak dan kain celupandan pakailah kerudung, seburuk-buruknya kaum adalah yang dikalahkan’, dan puisi yang lainnya ‘umamah berkeliling naik kendaraan, alangkah baik tubuh dan kerudungnya’4. Beberapa referensi yang tercecer yang menunjukkan bahwa wanita-wanita yang memiliki status sosial tinggi, seperti wanita Hind dari Hirah (Sterna: 109), yang sengaja berjilbab diruang publik. Denga demikian pemakaian berjilbab sesudah dan sebelum datangnya islam hanya terbatas pada sedikit wanita dari status sosial tertentu saja3.

Para ulama kebanyakan mengkritik saintis yang hanya melihat cara berpakian dari segi sejarahnya saja tidak melihat dari sisi syariatnya. Tapi saya justru melihat sebaliknya, para saintis dalam ilmu antropologi melihat faktor sejarah dari berbagai macam aspek, seperti asal kata, makna kata, munculnya kebiasaan dan jalur datangnya kebiasaan dari sumber-sumber sejarah baik hadist, al-Quran, puisi-puisi, dan hukum yang dapat dijadikan sumber rujukan. Berbeda dengan para ulama yang kelihatanya ilmu mereka hanya terkait pada masalah syariat yang diwariskan secara turun temurun sehingga cenderung menilai dengan subjektif.

setiap manusia dikendalikan oleh memenya
Ok sekarang kita mendapatkan kesimpulan bahwa pemakian berjilbab hanyalah sebuah tradisi bukan hukum agama, jelas saya tidak menyuruh anda melepas jilbab anda, apalagi mengatas namakan tuhan agar anda melakukannya, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan ulama-ulama kita, bila mereka mendapatkan ide tentang apa yang mereka anggap hukum agama. Tetapi saya lebih berharap agar kita lebih bijaksana dalam menilai, tidak perlulah kita beranggapan bahwa seseorang yang memiliki paham yang berbeda dengan kita sudah pasti salah dihadapan tuhan. Dengan ilmu kita yang terbatas ini, kita hanya dapat melapangkan dada terhadap perbedaan, perbedaan adalah mutlak ada dan seharusnya kita menyikapinya sebagai karunia tuhan. Bila kita menganggap segala sesuatu yang bertentangan dengan paham kita adalah bid’ah maka kita justru terjerembab dalam kebencian dan sikap tidak toleransi, seperti yang anda lihat pada cerita pembuka diatas. Jika kita menganggap bahwa kebenaran adalah sesuatu yang pasti berpihak pada kita maka kita akan menjadi budak mahluk yang disebut virus akal budi (meme) yang bertujuan hanya untuk memperbanyak diri mereka sendiri, kemudian menjauhkan kita dari sikap rendah hati. Karena kebenaran itu absurb, kita harus puas hanya pada tempat kedua dari puncak kebenaran, sehingga kita tidak pernah puas untuk terus mencarinya.




Referensi : 
1.      Husein Shahab. Jilbab menurut al-Quran dan Sunnah. Mizan. Bandung. 1995.
2.      Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah pesan, kesan, dan keserasian al-Quran. Lentera Hati.Tangerang. 2007.
3.   Fadwa El Guindi. Jilbab Antara, Keshalehan, Kesopanan, dan Perlawanan. Serambi Ilmu Semesta. Jakarta. 2003. Bisa dilihat e-book googlenya disini : http://books.google.com/books?id=0I1HuLFYHNkC&printsec=frontcover&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false.
4.      Di chenel SBS ketika itu dalam program tayangan Insight, disana mereka menampilkan berbagai kalangan mulai dari wanita muslim tak berjilbab sampai wanita muslim yang menutupi semua wajahnya dengan jilbab, ahli sejarah dan ahli agama dari semua aliran.
5.    Prof. Abu Syuqqah. Busana dan perhiasan Wanita menurut al-Quran dan Hadist. Al Bayan. Kuwait. 1995.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar